MESKI sudah tak jadi wali kota lagi, saya tetap mencermati pengarahan Presiden Jokowi ketika membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2022 di Istana Negara Jakarta, Kamis (18/8) lalu. Sehari setelah peringatan HUT ke-77 Kemerdekaan RI. Maklumlah saya masih ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Balikpapan. ISEI merasa ikut bertanggung jawab terhadap nasib perekonomian bangsa termasuk di daerah.
Ada dua hal krusial yang disampaikan Presiden kepada para gubernur, bupati, dan wali kota pada saat itu. Soal ancaman inflasi yang melonjak di beberapa daerah. Lalu sindiran Presiden, soal masih adanya sejumlah dana daerah yang belum dibelanjakan alias disimpan di kas daerah atau bank.
Hal ini lalu ditindaklanjuti oleh Mendagri Muhammad Tito Karnavian dalam Rakor Pengendalian Inflasi Daerah, yang berlangsung secara hybrid dari Gedung Sasana Bhakti Praja, Kantor Pusat Kemendagri, Selasa (30/8).
Malah Mendagri tak segan menuding kepala daerah yang tidak mampu mengendalikan inflasi bisa dikategorikan pemimpin yang tidak cakap. Biar masyarakatnya tahu kemampuan kepala daerahnya. Dan jika dia seorang Pj (penjabat), maka tidak tertutup kemungkinan dia akan dicopot atau dievaluasi kinerjanya. Begitu kata Tito.
Mendagri memang mendapat instruksi dari Presiden agar kepala daerah menempatkan inflasi sebagai isu prioritas. Dia juga diminta segera mengeluarkan regulasi, sehingga Pemda dapat menggunakan pos anggaran belanja tidak terduga dalam APBD, di antaranya untuk menutup biaya transportasi komoditas pangan yang diketahui menjadi masalah atau penyebab kenaikan harga.
Inflasi Indonesia memang masih terjaga 4,94 persen (year on year). Masih lebih baik dibandingkan beberapa negara lain seperti Uni Eropa 8,9 persen, Amerika Serikat 8,5 persen, bahkan Turki mencapai 79 persen.
Tapi Presiden melihat ada 5 provinsi yang laju inflasinya sangat tinggi. Yaitu Jambi 8,55 persen, Sumatera Barat 8,01 persen, Bangka Belitung 7,77 persen, Riau 7,04, dan Aceh 6,97 persen. Tentu ini menjadi alarm, padahal Presiden menginginkan laju inflasi nasional bisa ditekan di bawah 3 persen.
“Nanti saya ke daerah, akan saya tanya kepala daerahnya. Jangan sampai gelagapan enggak ngerti posisi inflasinya berada di angka berapa,” kata Jokowi memperingatkan.
Hampir semua daerah memang kelimpungan menjaga laju inflasi pada saat ini. Kita tahu kenaikan harga pangan silih berganti. Habis antre minyak goreng, kenaikan harga pangan datangnya bertubi-tubi. Mulai lombok atau cabe. Tak pernah kita bayangkan harga lombok mampu menembus di atas Rp 100 ribu per kilogram. Malah sampai Rp 200 ribu. Menyusul bawang merah dan terakhir ini telur ayam.
Presiden Jokowi dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo juga sempat mengingatkan masyarakat tentang kecenderungan harga pangan berbahan tepung bakal naik, seperti roti dan mi. Karena bahan tepung gandumnya tertahan di negara penghasil akibat perang Ukraina vs Rusia. Lebih 30 persen kebutuhan tepung kita didatangkan dari negara yang lagi “becakut” itu.
Kaltim sendiri meski tak masuk yang disebut Jokowi, toh inflasinya juga sudah di atas nasional. Angkanya mencapai 5,05 persen. Itu tanda-tanda sejumlah harga juga meroket. Apalagi sebagian suplai pangan dan kebutuhan pokok lainnya daerah ini didatangkan dari Jawa dan Sulawesi. Jadi sangat rentan.
Instruksi Presiden agar menggunakan dana tidak terduga itu cocok untuk Kaltim. Pemerintah daerah bisa menyubsidi ongkos angkut. Kaltim sudah berpengalaman menerapkan pola subsidi seperti ini. Dulu Pemda Kaltim menyubsidi ongkos angkut sejumlah bahan pokok ke pedalaman dan kawasan perbatasan. Malah melalui angkutan udara.
SANGAT BERAT
Saya kemarin ke Samarinda. Sempat singgah di Pelabuhan Pasar Pagi, di seberang Masjid Raya Darussalam. Di situ banyak perahu pinisi dari Sulawesi, yang membawa sejumlah bahan pangan. Mulai beras, telur, dan sayur mayur. “Bakal naik lagi ongkos angkut kalau harga BBM terutama solar subsidi dinaikkan,” kata seorang juragan pinisi kepada saya.
Kebetulan saya juga bertemu seorang ibu rumah tangga. Ibu Anisa, yang baru berbelanja di Pasar Pagi. Suaminya seorang PNS. “Sangat berat kalau harga terus naik. Suami ‘kan cuma PNS, bukan juragan batu bara. Pasti daya beli kami menurun,” katanya bersungut-sungut.
Ketika Ibu Anisa menyinggung soal batu bara, pandangan saya langsung berpaling ke Sungai Mahakam. Di sana terlihat puluhan tongkang besar bermuatan batu bara tengah melintas. “Kita boleh dibilang tak dapat apa-apa. Makanya saya mengusulkan agar dana nasional seharusnya lebih banyak disalurkan ke daerah,” kata Gubernur Dr Isran Noor, yang terus gigih memperjuangkan perubahan komposisi anggaran APBN lebih banyak ke daerah.
Isran juga termasuk gubernur yang menepis anggapan bahwa daya serap anggaran di daerah rendah karena daerah malas membelanjakan uangnya. “Tidak benar itu. Daerah mana yang mau menyimpan uangnya? Apa untungnya? Kalau ada uang seakan-akan tertahan, itu sebenarnya dana pekerjaan proyek atau kegiatan yang belum diambil oleh kontraktor. Mereka sukanya mengambil sekaligus di akhir pekerjaan,” jelas Isran.
Presiden meminta agar Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) mau bekerjasama dengan Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP). “Saya yakin kalau kerjasamanya terjalin dengan baik, kita mampu mengendalikan inflasi di bawah 3 persen,” katanya.
Kepala Negara juga menyinggung soal harga BBM. “Pertalite, Pertamax, solar, LPG, listrik itu bukan harga yang sebenarnya. Bukan harga keekonomian. Itu harga yang disubsidi oleh Pemerintah yang besarnya Rp 502 triliun. Angkanya memang gede sekali. Ini yang harus kita tahu untuk apa? Ya untuk menahan agar inflasinya tidak tinggi,” kata Jokowi.
Rabu (31/8) malam menjelang 1 September, di sejumlah daerah terjadi antrean kendaraan di berbagai SBPU. Warga mengantisipasi bakal naiknya harga BBM. Para mahasiswa juga mulai demo menentang kenaikan harga BBM. Suara dari Senayan juga berteriak nyaring mendesak agar dilakukan penundaan.
Sampai kemarin memang belum ada pengumuman resmi kenaikan BBM. Presiden Jokowi mengatakan Pemerintah masih menghitung. Malah sebaliknya PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga BBM Umum. Harga BBM jenis Pertamax Turbo turun Rp 2.000 per liter. Dexlite turun Rp 700 per liter. Sedangkan Pertamina Dex turun Rp 1.500 per liter. Bisa jadi yang bakal naik BBM bersubsidi. Selain beban APBN sangat berat. Juga sebagian penyalurannya dianggap salah alamat alias bocor.
Karena itu ekonom senior Faisal Basri mengusulkan agar subsidi BBM dihapuskan saja. Ia setuju anggaran subsidi BBM dialihkan menjadi bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat. Juga untuk biaya sekolah, membangun infrastruktur, dan energi terbarukan.
Belakangan kalau jalan saya sering numpang mobil Pak Zen, sahabat saya. Itu cara saya mengirit pengeluaran BBM. Malah saya sering ditraktir Pak Zen ngopi di Café Loby, ruko dekat Balikpapan Regency. Ibarat pepatah, sekali kayuh, dua manfaat saya peroleh. Hemat BBM, makan gratis. Terima kasih Pak Zen. Salam hormat dari tim pengendali inflasi.(*)