Lempeng

Lempeng

ANGGOTA DPR RI dan sejumlah pengamat mengkritik Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang dianggap gagal menangani kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Bahkan dengan kebijakan baru Pemerintah, yang hanya mensubsidi minyak curah  dan melepas minyak kemasan dengan mekanisme pasar dianggap bahwa Negara sudah gagal dan menyerah dengan masalah ini.

Sementara itu saya lihat di media sosial dan TV,  mantan Presiden RI kelima Bu Mega atau Megawati Soekarnoputri, yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan mengeluarkan omelan khasnya. “Saya itu sampai ngelus dodo. Saya mikir apa ibu-ibu itu tiap hari hanya  menggoreng saja. Apa tidak ada cara lain, sampai begitu rebutan. Apa ngga ada cara lain, misalnya merebus, mengukus atau seperti rujak. Ko jlimet banget,” katanya.

Kalau kita amati di media sosial, sebenarnya sekarang banyak diposting cara memasak tanpa minyak goreng atau kalaupun memakai minyak tidak terlalu banyak. Saya baru saja dikirimi cara mendadar telur dengan memakai alas daun pisang tanpa memakai minyak goreng. Saya langsung teringat menu camilan favorit saya, lempeng pisang. Anak-anak sekarang, anak-anak milenial hampir tak mengenal lempeng. Walaupun lempeng mirip pizza cuma beda rasa.

Hampir sekitar 50 tahun silam atau setengah abad lalu, saya teringat lempeng buatan ibu saya. Maklum rumah kami di Samboja dekat lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) dikelilingi pohong pisang. Waktu itu makanan sangat terbatas. Kalau pagi tidak mungkin sarapan nasi karena beras susah. Mau tidak mau, sarapan paginya, kalau tidak pisang rebus, ya lempeng. Persis memasaknya seperti membuat dadar telur tanpa minyak goreng cukup dengan daun pisang sebagai alasnya di rinjing sebagai tempatpenggorengan. (Asal tahu saja daun pisang terbaik untuk kemasan atau pepesan ikan termasuk alas memasak lempeng adalah daun pisang kepok alias pisang manurun. Daun pisang kepok tidak mudah sobek karena lembut.)

Saya pikir makanan lempeng sudah tidak ada lagi. Maklum sejak zaman dulu lempeng hanya dibuat di rumah saja dan jarang dijual di warung-warung.  Lempeng kalah tenar dengan roti pisang atau pisang sanggar, walaupun bahan utamanya sama yakni pisang dan tepung. Pisang terbaik untuk membuat lempeng, ya pisang kepok atau mahuli. Tapi bisa juga pisang lain walaupun rasanya tidak senikmat kedua pisang tadi.

Saya kaget di Samarinda, saat ini ada dua warung yang menjajakan salah satu menu favoritnya adalah lempeng. Yang memberitahu saya ada menu lempeng di Kota Tepian adalah dua rekan wartawan Hamdani dan Syafril TH Noer, yang dua-duanya juga seniman. Menurut mereka menu lempeng ada dijual di Kedai Kong Djie Citra Niaga. “Satunya lagi di Warung Tempo Doeloe, parak Stadion Madya Jl PM Noor Sempaja,” kata Bung Syafril.

 Saya sudah dua kali mencoba lempeng Kong Djie ditemani Bung Hamdani dan teman-teman wartawan lainnya. Lempengnya tidak terlau besar, hanya sebesar bulatan telur ceplok. Harganya sepuluh ribu rupiah. Cita rasanya saya setuju enak dan enak. Yang jual pintar memilih pisang. Jadi lempengnya cukup manis. Kalau konsumen merasa masih perlu tambahan pemanis,  Kong Djie juga memberi  tambahan gula pasir merah dan mentega di tempat terpisah.

Saya juga senang duduk di Kedai Kong Djie karena persis di samping pintu masuk kompleks perniagaan Citra Niaga. Kawasan Citra Niaga seluas 2,7 hektare dibangun tahun 1987 semasa Walikota Drs H Waris Husain. Tapi seingat saya, yang punya ide membangun Citra Niaga dalah Gubernur Kaltim H Soewandi bersama putranya Didik Suwandi. Gubernur Soewandi ingin ada kawasan perdagangan terutama barang-barang kerajinan rakyat dipadu warung makan dan minum, yang bagus dan unik. Sebelum menjadi Citra Niaga, kawasan itu dulu terkenal dengan nama Taman Hiburan Gelora (THG) dan agak kumuh, di antaranya tempat tampilnya seniman Samarinda, alm. Satar Miskan. Saya lupa apa seniman yang juga wartawan di antaranya Djobal,  Ahim Hasibuan dan Ibrahim Konong sempat juga tampil di sana.

Bangunan Citra Niaga dengan bentuk payung-payung berbahan kayu dan beratap sirap ulin terlihat sangat unik berkat rancangan arsitek Ir Antonio Ismael. Karena itu Citra Niaga berhasil menyabet penghargaan internasional Aga Khan Award for Architecture (AKAA) mengalahkan Bandara Soekarno-Hatta pada tahun 1989.

Penghargaan Aga Khan diberikan kepada karya-karya profesional di bidang arsitektur  yang bernafaskan budaya Islam dan konsepsi bangunan yang identik dengan kebutuhan penduduk muslim melalui penyajian arsitektur yang menarik dan unik.

Sayang Citra Niaga sekarang jadi semrawut lagi. Tapi saya dengar Walikota Samarinda Dr H Andi Harun dan wakilnya Dr H Rusmadi Wongso punya semangat baru untuk mengembalikan kejayaan Citra Niaga. “Biar Citra Niaga kembali menjadi salah satu ikon kota yang tetap bisa dibanggakan,” kata kedua pemimpin yang lagi semangat-semangatnya ini.

LEBIH BESAR

Meski sudah dua kali menikmati lempeng Kong Djie tapi saya belum sempat menikmati lempeng di  Warung Tempo Doeloe. “Size-nya lebih besar dan harganya lebih mahal yaitu Rp 30 ribu. Maklum bisa dimakan berenam. Mun kada bertiga aja,” kata Bung Hamdani.

“Rasa hangitnya pas banar. Di situ juga ada roti pisang dan roti mariam. Kalau pian rasai pasti nyanyat,” kata Bung Syafril menambahi promosinya.

Lempeng sepertinya makanan khas Banjar. Untuk menyesuaikan selera modern, lempeng mulai dikembangkan dengan cita rasa dan penampilan yang baru. Misalnya sudah ada lempeng yang diberi toping keju, coklat, susu dan lainnya. Tapi saya sendiri tetap menyukai lempeng telanjang alias tak diberi tambahan apa-apa.

Menyambut kehadiran IKN di Sepaku, Paser Penajam Utara, ada juga keinginan saya mengembangkan “Lempeng Nusantara” di Balikpapan. Kebetulan istri saya, Ibu Arita mulai pandai membuat pizza dananak saya lagi membuat kedai kopi. Kalau ada yang tanya apa artinya Lempeng Nusantara, ya sudah jangan disoal jlimet seperti kata Ibu Mega. Pokoknya yang penting nyerempet nama Nusantara. Kali-kali dilirik oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara Pak Bambang Susantono sebagai menu sarapan pagi  atau camilan siang untuk semua staf di Otorita Nusantara. Maknyusssss.(*)