AKSI unjuk rasa atau demonstrasi mahasiswa terjadi di seluruh Indonesia termasuk di Samarinda dan Balikpapan, Senin kemarin. Pelaksananya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia. Ada beberapa tuntutan disampaikan di antaranya soal penolakan amandemen UUD 1945, penundaan Pemilu 2024 dan penolakan masa jabatan presiden tiga periode. Selain itu juga soal kenaikan dan kelangkaan barang pokok masyarakat termasuk BBM. Alhamdulillah, semua berjalan lancar meski ada beberapa insiden. Aparat keamanan terutama polisi dan TNI berusaha keras menjaga demo berjalan tertib. Apakah demo berlanjut, kita lihat saja perkembangannya ke depan.
Melihat aksi demo kemarin, saya jadi teringat aksi demo mahasiswa tahun 1978. Saat itu saya masih mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Sebagai pengurus Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa, saya ikut memimpin demo mahasiswa Unmul di kampus Unmul Jl Flores. Di antara tuntutannya adalah menolak Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) masuk dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang digagas Ibu Tien Soeharto, Ibu Negara, yang berbuntut juga aksi penurunan Presiden Soeharto.
Ketika demo berlangsung dengan aksi pembacaan puisi, aksi teatrikal, dan orasi, di luar pagar kampus ratusan aparat keamanan berjaga-jaga. Yang menarik, pasukan keamanan waktu itu dipimpin Dandim 0901/Samarinda Letkol CZI Syarifuddin Yoes, yang belakangan menjadi wali kota Balikpapan (1981-1989).
Gara-gara aksi demo yang disiarkan langsung oleh Radio Mahasiswa Unmul itu, ada 4 orang penanggung jawab demo yang dijemput petugas Kodam IX/Mulawarman, yang waktu itu bertindak sebagai Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Keempat orang itu itu adalah Syaiful Teteng (belakangan jadi Sekprov Kaltim), Arifin Tawan, Kusmayadi, dan satunya lagi saya. Sementara radio mahasiswanya dibredel oleh Rektor Unmul saat itu Prof Dr Ir Sambas Wirakusumah, MSc. Dan beberapa waktu kemudian ada beberapa mahasiswa lagi yang dipanggil Laksusda.
“Setidaknya kita sudah pernah berbuat untuk Bangsa ini seperti mahasiswa lainnya,” kata Syaiful M mengenang. Syaiful salah seorang seniman kampus terlibat dalam pembacaan puisi satir dan siaran Radio Mahasiswa Unmul bersama tokoh mahasiswa lainnya waktu itu. Ada Anjar Rahman, Maruji Hamid, Harry Bahrul dan tokoh kampus lainnya dari Untag dan IKIP di antaranya Ence Ridwan, Djailani Hanafi, dan Mugeni Baharuddin.
Perlu diketahui, Kopkamtib adalah lembaga super yang dibentuk Presiden Soeharto yang memiliki wewenang untuk melarang aksi unjuk rasa, melakukan penangkapan terhadap figur politik yang kontra-pemerintah, melarang diskusi publik dan penyensoran media massa. Bertindak sebagai panglima Kopkamtib pernah Jenderal Soeharto sendiri, juga Laksamana Sudomo, dan terakhir sampai dibubarkan 5 September 1988 adalah Jenderal TNI Benny Moerdani.
Ketika saya dibawa ke Balikpapan, yang ditugaskan menjemput dan mendampingi saya adalah Kasie Intel Kodim 0901 Kapten Wuisang, yang belakangan masih sempat ketemu saya di Pemkot Balikpapan, ketika saya menjadi wakil wali kota pada tahun 2006. Kapten Wuisang saat itu menjadi kepala Hansip dengan pangkat terakhir letnan kolonel.
Syukurlah, waktu ditahan kami berempat tidak dimasukkan dalam kerangkeng sel, tetapi dititipkan di bangsal prajurit persis di depan RS Tentara dr R Hardjanto, di Jl Tanjung Pura 1, Klandasan Ulu, Balikpapan Kota. Sekitar 12 hari kami menjalani pemeriksaan dan akhirnya dibebaskan tanpa proses lebih lanjut. Saya masih ingat dibebaskan persis pada hari Jumat. Lalu sempat diundang makan di rumah Pak H Syahruni, kepala Dinas PU Balikpapan saat itu.
Gara-gara demo serentak seluruh Indonesia itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef mengeluarkan surat keputusan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang menyebabkan institusi mahasiswa terutama Dewan Mahasiswa tidak boleh lagi ada dan diganti Badan Koordinasi Mahasiswa, yang sama sekali tidak boleh mengadakan kegiatan bernuansa politik. Jika dilanggar langsung diberi sanksi keras, yaitu pemecatan.
JALAN HENDRIAWAN SIE
Salah satu aksi demo mahasiswa di Indonesia yang terkenal dan bersejarah adalah Tragedi Trisakti. Itu terjadi 12 Mei 1998. Tragedi Trisakti adalah peristiwa gugurnya 4 mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta ketika menuntut turunnya Presiden Soeharto.
Keempat mahasiswa yang tewas akibat terkena tembakan peluru petugas itu adalah Elang Mulia Lesmana (20), Heri Hertanto (21), Hafidin Royan (22) dan Hendriawan Sie (20), yang asli putra kelahiran Balikpapan 3 Maret 1978.
Menurut catatan Kontras, aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai tempat dan kampus saat itu menyebabkan 681 orang terluka. Sebelumnya juga Tragedi Semanggi I dan II, yang juga menimbulkan korban jiwa.
Dari cerita saksi mata, Hendriawan masih sadarkan diri ketika dua peluru menembus tubuhnya. Kepala UPT Otorita Universitas Trisakti Arri Gunarsa segera membopong tubuhnya yang berlumur darah. “Aduh panas, Mak, panas, Pak,” katanya merintih ketika dilarikan ke RS Sumber Waras. Setiba di rumah sakit, Hendriawan meninggal dunia karena kehabisan banyak darah.
Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru. Setelah tragedi itu, perlawanan mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar dan masif, hingga akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998 digantikan Prof BJ Habibie, yang sebelumnya adalah wakil presiden.
Demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisaki itu merupakan rangkaian dari aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sejak awal 1998. Aksi mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Hingga kemudian pada 18 Mei 1998 mahasiswa berhasil menguasai kompleks Gedung DPR/MPR sampai mereka naik ke atap gedung. Beberapa hari kemudian tepatnya 21 Mei 1998, mahasiswa berhasil menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun.
Atas pengorbanan yang luar biasa itu, Hendriawan Sie dan ketiga temannya dianugerahi gelar Pahlawan Reformasi dan Bintang Jasa Pratama oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Mereka menjadi teladan yang luar biasa bagi Bangsa ini dalam memperjuangkan demokrasi dan keadilan,” kata SBY.
Sementara di Balikpapan, nama Hendriawan Sie diabadikan menjadi nama jalan di kawasan Gunung Sari ke arah Jalan Martadinata sebagai Jalan Hendriawan Sie. Itu adalah tempat tinggal orang tua Hendriawan Sie, Hendrik Sie dan Karsiah di mana Hendriawan dilahirkan dan dibesarkan sampai dia tamat SMA 5. Kedua orang tuanya ini sekarang tinggal di Jakarta karena Hendriawan sebagai putra semata wayang mereka dimakamkan di Pemakaman Al Kamal, Kebon Jeruk Jakarta sehari setelah peristiwa penembakan itu.
“Kami benar-benar terpukul dan tidak bisa melupakan kesedihan itu. Bayangkan kami hanya punya putra tunggal, harapan kami yang akhirnya pupus. Tapi kami juga bangga karena dia berbuat untuk bangsanya,” kata Ny Karsiah, yang sering ikut aksi demo menuntut keadilan. Ny Karsiah semakin terpukul karena belakangan dia berpisah dengan Hendrik Sie. Saya kemarin, sempat menyusuri Jalan Hendriawan Sie. Suasananya lengang. Tapi saya masih merasakan seakan Hendriawan Sie, masih hidup di sana. “Kami bangga dan mendoakan Hendriawan mendapat tempat selayaknya di sisi Tuhan dan menjadi contoh dan teladan buat anak-anak kami,” kata Agus, warga di situ.(*)