SEMASA saya kuliah di Fakultas Ekonomi Unmul, rasanya saya tak pernah mengenal istilah “lonely economy.” Dalam seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) juga tidak pernah disinggung. Tapi belakangan istilah ini sangat populer. Lonely economy dianggap fenomena baru menyusul terjadinya wabah atau pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir.
Tak kurang dari pengusaha besar Chairul Tanjung yang mengungkapnya. “Ada satu fenomena baru yang membuat kita merasa aneh, tapi nyata. Yaitu fenomena ‘lonely economy.’ Banyak orang lebih memilih bertahan hidup sendiri,” kata chairman dan founder CT Corp, yang pernah menjadi menko perekonomian itu dalam CNBC Indonesia Economic Outlook 2022 beberapa waktu lalu.
Dalam pengertian bebas, lonely economy dapat disebut orang yang lebih suka memilih hidup sendiri. Dia memutuskan tidak ingin mencari pasangan atau membangun keluarga. Apalagi sampai punya anak, sebab salah satu pertimbangannya adalah soal ekonomi atau pendapatan yang terbatas. Makanya fenomena ini disebut lonely economy.
Ada juga yang mengartikan lonely economy sebagai keluarga kecil. Pasangan yang tidak mau atau menunda punya anak. Kalaupun punya, ya cukup satu saja. Erat kaitannya dengan tempat tinggal yang sempit serta kesulitan menjaga dan memelihara si anak. Belum lagi pengeluaran lainnya. Sehingga tidak sesuai dengan pendapatan. Seperti pepatah: besar pasak daripada tiang.
Katadata mengutip laporan riset McKinsey & Company tahun lalu, menyebutkan lonely economy juga menjadi tren baru perekonomian Asia saat ini. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan ukuran rumah tangga yang mengecil dan berimplikasi terhadap konsumsi dan bisnis.
Rumah tangga di Asia semakin menyempit, menyusul tren penyempitan rumah tangga di Amerika Serikat dan Eropa yang sudah berlangsung sejak tahun 1960-an. Ukuran rata-rata rumah tangga di sebagian negara Asia selama 20 tahun terakhir sudah turun. Penurunan di China mencapai 30 persen dan 10 persen di Indonesia.
Dikatakannya, hampir dari sepertiga rumah tangga di negara maju Asia dan lebih dari 15 persen di China merupakan rumah tangga yang terdiri atas satu orang, dan lonely economy mulai muncul.
Tren lonely economy ini salah satunya terlihat dari kepemilikan terhadap hewan peliharaan yang meningkat di Asia. Di China kepemilikan terhadap hewan peliharaan (pet) naik 114 persen, di Thailand 23 persen dan Singapura 12 persen.
Biasanya orang yang hidup sendiri punya kecenderungan suka memelihara hewan peliharaan seperti anjing dan kucing. Binatang itu menjadi teman mereka, baik di dalam rumah atau bepergian ke mana saja.
Ada yang beranggapan lonely economy jawaban atau solusi terhadap kesulitan ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Ditambah lagi sekarang gejolak baru, resesi global. Kantong makin cekak. Maka orang harus benar-benar hidup hemat, irit atau efisien supaya bisa bertahan hidup. Salah satunya, ya hidup sendiri. Tidak ada yang menggandoli.
Sejumlah anak muda juga mengatakan, boro–boro memikirkan berumah tangga, hidup sendiri saja sudah sangat susah. Ijazah sarjana kini pun belum tentu bisa jadi jaminan. Cari kerjaan tidak gampang. Kita tahu selama Covid banyak yang terkena PHK. “Awalnya work from home (WFH). Tapi akhirnya benar-benar disuruh di rumah saja,” kata Agus menceritakan nasibnya.
Memilih lonely economy jauh lebih baik, ketimbang dia melakukan perbuatan nekat seperti bunuh diri atau menghabisi anggota keluarga karena putus asa tak punya uang. Kasus seperti ini sudah terjadi di beberapa tempat. Seperti dilakukan LH di daerah Kukar, Kamis (7/7) lalu. Persis saat listrik blackout, LH menghabisi istri dan anaknya yang masih berusia 3 tahun. Alasannya karena himpitan ekonomi. Bayangkan, ketika dia melakukan pembantaian, anak istrinya dalam keadaan kelaparan.
JADI BUJANG TUA
Penganut gaya lonely economy juga cenderung tidak berinteraksi secara seksual dengan pasangannya. Maka muncullah istilah “resesi seks.” Ini juga tidak masuk dalam kamus ekonomi. Walaupun ada kata resesinya. Resesi seks diartikan orang yang punya kecenderungan tidak mau bermain seks seperti lazimnya. Sebab bermain seks resmi atau bebas, tetap ada risiko. Ya risiko hamil, punya anak, kesehatan, dan risiko pengeluaran.
Menikah itu dianggap komoditas mahal. Sama mahalnya dengan perceraian. Karena itu banyak orang merasa tidak mampu menanggung risiko keuangan, yang terkait dengan urusan pernikahan atau perceraian. Padahal angka pernikahan hampir sama besarnya dengan angka perceraian.
Di Samarinda, dulu, ada satu kampung yang setiap rumahnya cenderung punya anggota keluarga yang tidak menikah. Istilahnya menjadi perawan tua atau bujang lapuk. Penyebabnya trauma dengan biaya pernikahan, terutama mas kawin atau mahar yang mahal. Akhirnya menjadi semacam “kutukan” untuk hidup melajang.
Lalu bagaimana cara mereka itu memenuhi hasrat seksnya? Di zaman sekarang tidak susah lagi. Teknologi seks sudah sangat maju. Produk teknologi dan budaya yang dinamakan sex toys terus berkembang. Bahkan sudah pula diproduksi boneka atau manekin yang mirip wanita atau manusia sesungguhnya. Bisa merespon hasrat kita dengan baik, termasuk hasrat seks. Dan tidak pernah cemburu dan minta macam-macam. Jadi sudah bisa seks mandiri.
Resesi seks melanda China, Jepang, hingga Amerika Serikat dan Eropa. Juga di beberapa negara Asia seperti Korea dan Singapura. Dari data yang dirilis pada 2021, hanya ada 19.430 pernikahan di Negeri Singa ini. Turun 12,3 persen dari tahun sebelumnya.
Fenomena resesi seks juga merisaukan pengusaha dunia Elon Musk. “Jika orang tidak memiliki lebih banyak anak dan populasi tidak tumbuh karena orang malas berkeluarga, maka peradaban akan runtuh. Tandai kata-kataku ini,” katanya.
Dalam Islam, menurut Buya Yahya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Bahjah, Cirebon, orang yang menghendaki dirinya tidak menikah, hukumnya boleh dan tidak berdosa. Selagi ia tidak melakukan sesuatu yang haram, berzina atau karena tidak memiliki urusan syahwat. “Menikah menjadi wajib jika seseorang memiliki syahwat yang normal, sudah memiliki modal yang cukup, dan khawatir masuk mendekati wilayah zina,” tambahnya.
Menurut Chairul Tanjung, fenomena lonely economy banyak membawa perubahan dalam kehidupan kita. Pola konsumsi baru muncul, seperti meningkatnya permintaan terhadap hewan peliharaan serta tren pemesanan makanan secara daring.
“Karena hidup sendiri tidak perlu memasak dan tidak perlu punya pembantu. Apa-apa dilakukan pemesanan secara daring. Hal-hal ini membuat banyak perubahan dalam kehidupan kita,” jelasnya.
McKinsey juga menggambarkan, pola perubahan konsumsi ditandai dengan di antaranya permintaan porsi makanan kemasan lebih kecil, dan pergeseran pola urbanisasi karena meningkatnya permintaan terhadap perumahan unit tunggal. Pergeseran demografis juga mendorong pertumbuhan jenis rekreasi tertentu, terutama meningkatnya hiburan digital, makanan untuk sendirian dan solo travelling.
“Pasar lonely economy tumbuh kuat karena konsumen semakin fokus pada kesehatan mental dan pilihan gaya hidup sehat,” tulis McKinsey.
Sudah dua tahun ini, setelah tak lagi menjadi wali kota, saya juga mulai menerapkan gaya hidup lonely economy setidaknya dalam urusan mengendarai mobil. Maklum karena keuangan yang terbatas, saya lebih banyak menyetir mobil sendiri. Terkadang ikut mobil sahabat saya, Pak Zen. Tapi dalam urusan keluarga, tentu saja saya tetap perlu istri, anak, dan cucu. Kalau hidup sendiri apalagi tak punya cucu, lalu siapa yang memanggil saya “Kai, Kai.”(*)