“Generasi Sandwich”

Ilustrasi generasi sandwich di negeri orang. Sepertinya bahagia. (foto: Getty Images)

ANAK zaman sekarang, yang disebut anak milenial, anak zaman now apalagi generasi Z niscaya tak terlalu kenal  dengan lempeng. Soalnya itu makanan generasi saya, generasi masa lalu. Tapi saya salut pada Kedai Kong Djie di Citra Niaga Samarinda, mau jualan lempeng. Bukan saya saja atau teman-teman wartawan, bahkan Gubernur Kaltim Pak Isran Noor juga suka.

Generasi sekarang memang banyak dikenyangi dengan makanan cepat saji (fast food) ala Barat seperti fried chicken, sandwich, hamburger atau pizza. Terkadang juga makanan junk food, yang banyak tidak sehatnya, seperti gorengan, kalengan, asinan, dan  makanan beku (frozen food).

Istri saya, Bunda Arita terampil membuat pizza. Banyak yang ingin belajar. Sebagian bahkan sudah membuka usaha pizza berkat dilatih istri saya. Soal rasa, tidak kalah juga dengan pizza aslinya. Bahkan, harganya bisa lebih murah.

Tapi sesungguhnya tulisan saya kali ini bukan bicara makanan dengan segala cita rasanya. Meski menyinggung soal nama makanan fast food tadi. Tapi ada satu generasi dalam kehidupan kita, yang disebut sebagai “generasi sandwich” atau “sandwich generation.”  Istilah generasi sandwich ini belakangan makin populer. Bahkan boleh  jadi kita termasuk di dalamnya. Lebih-lebih setelah pasca-Covid-19.

Generasi sandwich memang digambarkan seperti makanan sandwich atau burger. Terdiri dari dua potong roti, yang tengahnya diisi dengan daging. Yang daging itu menjadi poin penting dalam generasi sandwich. Digambarkan generasi yang terhimpit dari atas dan dari bawah. Himpitan dari atas itu dari orang tua plus atau mertua, dan dari bawah adalah anak plus cucu atau anak saja.

Jadi lebih mudahnya generasi sandwich itu adalah generasi yang menanggung beban tidak saja untuk dirinya, tapi juga beban dari orang tua termasuk anak-anak bahkan bisa jadi juga cucu. Bahkan akibat Covid, tak jarang juga menanggung beban keluarga lainnya karena sang orang tua meninggal dunia atau kehilangan pekerjaan.

Selebritas sekaligus influencer, Mona Ratuliu mengatakan, ia dan suaminya memutuskan memberikan perlindungan kepada keponakannya, yang masih berusia 2 tahun karena ibunya meninggal dunia. “Keluarga sepatutnya menjadi tonggak utama yang kukuh, tempat bersandar bagi orang-orang yang ada di dalamnya,” katanya kepada Antara.

Beda lagi yang terjadi di China. Seorang wanita berusia 29 tahun digugat secara perdata oleh ayah dan ibunya karena menolak membelikan saudara laki-lakinya sebuah apartemen. Dikutip dari Shandong Business Daily, perempuan tersebut dituntut 500 ribu Yuan atau setara dengan Rp 1 miliar oleh orang tuanya.

Ilustrasi generasi sandwich di negeri sendiri. (foto: Getty Images)

Sebenarnya fenomena generasi sandwich sudah lama diamati. Adalah Prof Dorothy A Miller dari University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat yang mengulas dan memperkenalkan istilah itu pada tahun 1981. Dia bilang generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa, yang harus menanggung hidup 3 generasi, yaitu orang tuanya, dirinya sendiri, dan anaknya.

Karena itu dia analogikan seperti sandwich. Di mana sepotong daging yang di tengah, dihimpit oleh potongan dua roti. Potongan roti di atas diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas), potongan bawah sebagai anak (generasi bawah), sedang dagingnya yang di tengah sebagai generasi dirinya sendiri.

Mereka yang masuk dalam kelompok generasi sandwich, ada yang menyebutkan usianya antara 30 hingga 40 tahun. Ada juga yang berpendapat antara 30 sampai 50 tahun bahkan 60 tahun.

Memang tidak gampang menjadi generasi sandwich. Karena dia tulang punggung keluarga. Mungkin berat dan melelahkan. Sebagian besar mau tidak mau harus dijalani, meski “kuncang kirab,” istilah bahasa Banjarnya. Terutama beban ekonomi. Stres sudah pasti.  Ada yang sampai terlilit utang, jual aset sampai ada  yang mengambil jalan pintas yang ekstrem, seperti mencoba bunuh diri atau menghabisi anggota keluarga, yang menjadi beban.

MAKIN MENINGKAT

Financial Coach dan Advisor Philip Mulyana mengungkapkan, jumlah orang Indonesia berusia produktif yang menanggung beban finansial untuk anggota keluarga terutama lansia mempunyai kecenderungan meningkat.

Rasio ketergantungan lansia pada usia produktif semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data BPS menunjukkan angka lima tahun terakhir. Mulai 14,02 persen pada tahun 2017, menjadi 16,76 di tahun 2021.

“Dengan demikian, setiap 100 orang penduduk usia produktif (usia 15-59 tahun) harus menanggung setidaknya 17 orang penduduk lansia,” kata Philip seperti dikutip dari Antara.

Demikian juga pandemi  turut memberikan tantangan besar bagi keluarga ketika banyak orang yang harus kehilangan pekerjaan, sehingga mereka membutuhkan dibantu oleh anggota keluarga lain yang masih produktif.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa generasi sandwich bisa mengundang konsekuensi psikologis. Dampaknya antara lain stres, depresi, minim pola hidup sehat, bahkan sampai meningkatnya ketidakpuasan pada hubungan pernikahan.

Dari sisi lain, hasil penelitian terhadap 18 orang yang dianggap generasi sandwich di Indonesia menunjukkan, tidak selamanya orang tua menjadi beban. Ada juga yang menguntungkan, seperti membantu mengasuh cucu atau memberikan warisan.

Dosen Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Margaretha Ari Anggorowati berpendapat, fenomena generasi sandwich bisa menghambat target Indonesia emas di tahun 2045. “ Di satu sisi mereka ada pada kelompok usia produktif, tetapi di sisi lain mereka dapat terhambat karena beban yang harus ditanggung,” katanya kepada Kompas (13/9).

Tapi dalam Islam, generasi sandwich tidak boleh mengeluh. Ulama sekaligus akademisi, KH Cholil Navis menegaskan, menjadi generasi sandwich membuat kita memiliki kesempatan untuk lebih banyak lagi bersyukur. Apalagi jika menyangkut orang tua. Islam mengajarkan agar kita selalu berbakti dan bersyukur kepada kedua orang tua sebagaimana bersyukur kepada Allah SWT. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tua ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu,” kata Kiai Cholil mengutip Alquran surah Lukman:14 seperti dirilis islami.co.

Ada yang berpendapat generasi sandwich harus segera diputus atau setidaknya dikurangi seminimal mungkin. Ada beberapa cara dilakukan, di antaranya melakukan perencanaan keuangan  sebaik mungkin. Tidak boleh pasrah dengan apa yang terjadi di kemudian hari.

Misalnya mempersiapkan tabungan hari tua. Atau mengikuti asuransi kesehatan. Tidak ada salahnya keluarga diajak bicara, bagaimana caranya bisa berbagi tanggungan dengan kerabat yang lain. Dan atur sebaik mungkin kebutuhan pribadi dan keluarga dengan menerapkan sistem skala prioritas.

Ada juga yang mengusulkan agar Pemerintah  turun tangan lebih intensif. Misalnya memperbaiki skema dana pensiun atau terobosan dalam rangka peningkatan jaminan kesejahteraan hari tua. Dari sisi ini, tidak salah kalau wakil rakyat minta pensiun seumur hidup meski bertugas hanya 5 tahun. Persoalannya, apakah itu adil atau tidak dibanding pensiunan yang lain, termasuk saya yang 15 tahun menjadi wakil dan wali kota.

Menurut Said Didu, dana pensiunan yang diterima PNS sangat tidak adil dibanding yang diterima wakil rakyat. Malah mantan menteri Kelautan, Susi Pudjiastuti sepakat agar Pemerintah menghapus jatah pensiunan untuk wakil rakyat seperti juga mantan menteri. Saya tidak tahu, kalau semacam ini apakah masuk generasi sandwich atau generasi lempeng.(*)

1 thought on ““Generasi Sandwich””

  1. Yasin Ramadhani

    Bukan cuma di masalah keuangan, terkadang generasi milenial apalagi yang sudah berusia 30 tahun ke atas harus menanggung kewajiban ‘orang dalam’ untuk ponakan-ponakannya dalam mencari pekerjaan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *