SETELAH istri saya, maka Amat adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun ke-64 kepada saya. “Selamat ulang tahun, Pak, semoga Allah subhaanahu wa ta’ala selalu memberi umur panjang, kesehatan, kesuksesan dalam segala hal. Termasuk kebahagiaan bersama keluarga tercinta. Aamiin yaa rabbal’aalamiin,” begitu WA-nya kepada saya tengah malam.
Amat alias Ahmad adalah petugas rumah tangga rumah dinas ketika saya masih menjadi wali kota. Dia sangat rajin bekerja dan tak pernah macam-macam. Sepatu saya dia yang kerap menyemir. Meski tak lagi bersama, ayah dua anak ini sesekali datang ke rumah saya.
Biasanya dia membawa pisang mahuli hasil dari tanaman rumahnya. Saya juga diberi bibit pisang dari dia, yang buahnya sering saya bagikan kepada beberapa orang. Dia ingin menunjukkan kesetiaannya dengan cara sederhana. Tapi diam-diam saya sering menitikkan air mata mengapresiasi pengabdiannya yang tak luntur. Meski saya “Bukan Pak Wali lagi.”
Itu juga yang ditunjukkan Malik. Dia juga orang rumah tangga. Masih bujangan dari Banjar. Dia sering menemani cucu saya Defa dan Dafin bermain. Terkadang menemani saya nonton MU atau Timnas dari layar TV. Meski tengah malam. Lalu memasak Indomie, menu kesukaan saya.
Suatu malam saya kaget ditelepon Malik. Dia tanya apa saya sudah makan? Lalu dia menawari saya apakah saya mau dibelikan mi atau nasi goreng dan sate. Tidak beberapa lama dia datang membawa makanan itu. Saya makan bersama dia.
Diam-diam saya menangis lagi. Bayangkan dengan gaji yang tidak terlalu besar, Malik masih bisa mentraktir saya. Tapi sepertinya dia ingin berbuat sesuatu untuk saya. Membagi kebahagiaan, yang ingin dijaganya tak lekang kena panas, tak lapuk kena hujan.
Kebahagiaan itu ternyata milik semua orang, meski kadarnya bisa berbeda. Bukan orang yang di atas saja yang bisa membagi kebahagiaan. Ternyata kebahagiaan bisa datang dari bawah. Bahkan acapkali terasa sangat istimewa dan surprised.
Begitu juga dengan Udin alias Sanudin. Dia masih setia bersama saya, terutama menemani istri saya, Bunda Arita menyetiri mobil. Dia malah ikut saya sebelum saya jadi wakil wali kota pada tahun 2006. Istrinya sekarang berjualan makanan dan kue-kue. Sesekali saya dibawakan donat atau roti buatan istrinya.
Sebelumnya ada juga Iwan. Baru saja dia bekerja di tempat lain. Setelah saya tak lagi berdinas, dia masih sempat bersama saya. Terutama membantu membersihkan pekarangan rumah dan merawat tanaman saya. Iwan suka memancing di laut. Kalau dapat ikan, meski sedikit, tetap saya dapat bagian. Terkadang ikan kerapu kecil.
Saya suka karena ikannya diberikan Iwan kepada saya penuh keikhlasan. Pelajaran penting yang diberikan Iwan kepada saya. Keikhlasan itu kelapangan hati. Padahal ikan itu barangkali juga sangat disukainya dan anak-anaknya. Tapi dia ikhlas membaginya kepada saya. Sebuah pelajaran hidup yang sungguh bermakna dari orang-orang kecil di sekitar kita.
Ada dua orang muda sekarang ini yang kerap menemani saya. Chris dan Rizal. Namanya sama dengan nama saya. Mereka bergantian menemani saya dalam beberapa kegiatan. Uniknya, mereka berdua kader KNPI beda ketua. Tapi rukun saja. Juga menepis tudingan orang kepada saya dikira saya cawe–cawe urusan KNPI.
KESETIAAN PAK ZEND
Saya sering memanggilnya Pak Zend atau Om Zend. Nama lengkapnya Zaenal Abidin, orang Lamongan. Dia punya usaha tidak terlalu besar, toh masih bisa menghidupi keluarganya. Dia bergerak di angkutan peti kemas.
Pak Zend menjadi teman dan menjalin persahabatan yang luar biasa dengan saya. Sangat istimewa. Saya sendiri lupa sejak kapan berteman dengan dia. Tapi dia menunjukkan arti teman yang sesungguhnya. Tetap erat dan setia dalam situasi apa pun.
Ketika saya masih bertugas, dia sering ke kantor bahkan ke rumah dinas. Tak kenal waktu dan aturan protokol. Tapi hebatnya, dia tak pernah meminta sesuatu termasuk proyek atau kegiatan kepada saya. Juga tak pernah minta bantuan yang macam-macam.
Begitu juga ketika dia saya tunjuk sebagai salah seorang direktur di Perusda, bukan keuntungan yang didapatnya. Tapi malah segudang persoalan. Toh dia tidak pernah mengeluh dan bahkan sampai SK-nya dicabut, dia tak pernah mendapatkan apa-apa. Dia tetap saja ikhlas.
Ketika saya menetapkan berpasangan dengan Rahmad Mas’ud pada Pilkada tahun 2016 lalu, hampir semua anggota tim sukses saya tidak setuju. Mereka meninggalkan saya. Satu-satunya yang bertahan adalah Pak Zend. Dia yang menyemangati dan menemani saya kampanye ke mana-mana. “Jalan terus aja, Pak,”. Begitu katanya.
Dia juga yang mengawal saya ketika saya mengikuti Pilgub tahun 2019 bersama dr H Sofyan Hasdam. Pak Zend yang membawa saya sampai ke pelosok Kabupaten Paser, Kukar, bahkan hingga Pulau Derawan, Berau. Dia tak mengenal lelah, padahal dia tak mendapat apa-apa.
Pada saat saya sekarang hidup sederhana, Pak Zend mengajak saya cari usaha dan kegiatan. Dia membawa saya ke beberapa relasinya. Salah satunya memasok kebutuhan batu bara untuk kebutuhan sebuah perusahaan di Kariangau. Saya pikir gampang. Ternyata sudah berbulan-bulan masih penuh perjuangan berat dan belum terwujud. Maklum modalnya cekak.
Terlepas soal itu, Pak Zend tetap menunjukkan dirinya sebagai sosok teman sejati. Di saat saya galau, dia mengajak saya jalan. Terkadang saya ditraktir makan. Dia tak berubah. Berteman dengan Pak Zend mengingatkan saya tentang cerita tentang sahabat sejati dari sahabat Nabi, Sayidina Ali bin Abi Thalib.
Suatu hari sahabat menyapa Ali bin Abi Thalib. Mereka melihat begitu banyak orang yang berada di sekeliling Ali. Lalu sahabat bertanya berapa jumlah orang yang mengikuti Ali, yang tengah menjadi khalifah. Ali menjawab, “Jika kamu ingin menghitung sahabat sejatiku yang sesungguhnya, nanti kelak ketika aku tak menjadi apa-apa lagi.” Sebuah perenungan yang dalam.(*)