KETUA PWI Kaltim Endro S Effendi punya usaha menarik. Tur ke Turki dengan bendera travel Sultanah. Biayanya sekitar Rp 15 juta. Beberapa teman wartawan tertarik. “Ayo kapan lagi,” kata Endro menyemangati. Saat ini, Endro lagi membawa rombongan British Populis ke sana. Mereka terbang 8 jam dari Jakarta ke Dubai.
Setelah city tour sehari di ibukota Emirat Dubai, baru rombongan meneruskan penerbangan ke Istanbul. Mereka mengunjungi 7 provinsi di Turki di antaranya Bursa, Kusadasi, Pamukkale, dan Cappadocia. Ada sejumlah objek wisata dilihat mulai bangunan bersejarah sampai taman-taman yang indah dan barang-barang antiknya.
Saya sendiri belum pernah ke Turki. Tapi istri saya, Bunda Arita sudah ke sana. Warganya ramah dan wanitanya cantik-cantik. Saya tahunya Turki kalau lagi ibadah haji atau umrah ke Tanah Suci. Rombongan jamaah Turki orangnya besar-besar. Kalau berjalan ke masjid, jamaah prianya memagari jamaah wanita. Jadi mereka aman.
Di baju jamaah Turki atau di pemondokannya ditulis Turkiye. Ternyata itu nama baru yang ditetapkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Nama baru ini sudah disampaikan ke PBB. Turkiye merepresentasikan budaya peradaban dan nilai bangsa yang terbaik. Erdogan minta semua produk Turki berlabel made in Turkiye. Juga menjadi sebutan resmi.
Ada yang beranggapan perubahan nama Turki itu sebagai manuver politik Erdogan, yang tengah bersiap menghadapi Pemilu tahun 2023 ini. Tapi warga lokal menyebut Turkiye sejak 1923 setelah deklarasi kemerdekaan.
Turki sendiri merupakan destinasi wisata yang sedang naik daun bagi turis asal Indonesia. Mengutip detiktravel, negara ini semakin dikenal sejak ditayangkannya serial Layangan Putus, yang dibintangi Reza Rahadian, Putri Marino, dan Anya Geraldine. Cerita romansa ini mengambil gambar di negeri Turki terutama di Provinsi Cappadocia. Apalagi biaya jalan-jalan ke Turki relatif bisa terjangkau. Dan masuk tanpa visa.
Bicara negeri Turki, saya jadi teringat Putri Manuntung Balikpapan tahun 1996, Farida Baderun. Dia sarjana hukum dan pemegang gelar master administrasi bisnis (MBA). Saat ini tinggal di sana menemani putrinya Sarah, yang lagi kuliah di ODTU jurusan fisika di Kota Ankara. Sudah semester 7. Sebentar lagi selesai.
“Aku sendiri tinggal di Istanbul pisah dengan Sarah. Cukup jauh perjalanannya karena beda kota,” kata Farida. Sarah tinggal di kompleks ODTU. Ada asramanya. Sangat luas. Arealnya 11.100 hektare, yang terdiri dari fasilitas akademik, taman bermain dan olahraga, asrama, dan kawasan hutan. Jadi dia tidak repot-repot lagi berangkat kuliah. Karena tinggal di kompleks kampus.
ODTU dalam bahasa Turki adalah Orta Dogu Teknik Universites atau juga dikenal dengan nama Middle East Technical University (METU), Universitas Teknik Timur Tengah. METU memberi kontribusi besar pada pengembangan negara Turki dan juga negara di sekitarnya di Timur Tengah, Balkan, dan Kaukasus.
Tak gampang masuk ke METU karena institusi ini membatasi pelajar asing. Tiap negara hanya 1- 4 orang saja yang bisa diterima. Tujuannya untuk menjaga kualitas sebagai universitas nomor 1 di negara tersebut.
“Aku bersyukur Sarah bisa diterima di METU, sekalian mengembangkan bakat musiknya. Sarah mengajar piano dan biola juga di kampusnya,” kata Farida.
Sesekali Sarah tampil di kedutaan dalam beberapa acara seperti resepsi 17 Agustusan atau ada tamu khusus. Dia pernah tampil di Vienna (Wina) Austria ketika mengikuti serangkaian kegiatan summer school. Sarah main piano di pelataran terbuka. Banyak yang mengaguminya. “Alhamdulillah kami di sini dipertemukan dengan orang-orang baik dan memberi jalan agar bakat kami bisa ditampilkan,” kata Farida.
Ketika Sarah main di kampusnya, Dubes Indonesia Lalu Muhammad Iqbal sempat menyaksikan. Dubes senang sekali karena ada mahasiswa Indonesia yang bisa berkarya dan punya bakat bagus di kampus terbaik itu. Sarah bermain dengan teman-temannya sekampus.
AKTIF DI KONSULAT
Selain Sarah, Farida sendiri juga aktif terutama bersama ibu-ibu di Konsulat Jenderal RI Istanbul. Kebetulan konsulnya, Imam As’ari dan istrinya Ibu Novi As’ari sangat welcome. Berbagai kegiatan diadakan di Konsulat bersama ibu-ibu, istri pegawai Konsulat dan masyarakat Indonesia.
Bakat Farida sebagai Putri Manuntung yang multitalenta tersalurkan. Main musik dan nyanyi serta modeling bisa dia kembangkan. Dia ikut aktif di Dharma Wanita Persatuan KJRI Istanbul dan komunitas ibu-ibu arisan.
Selain itu, ada kegiatan pengajian. Mereka tergabung dalam majelis taklim Annisa. Tak jarang mereka ziarah ke makam-makam pendiri Dinasti Utsmaniyah. Menambah pengetahuan agama dan meningkatkan keyakinan dalam menunaikan ibadah.
Utsmaniyah adalah kesultanan yang didirikan oleh suku-suku di Turki di bawah pimpinan Osman Bey atau Osman I. Ibukota Kesultanan Utsmaniyah atau Kekaisaran Turki Ottoman adalah Konstantinopel.
Masa kejayaan Kesultanan Utsmaniyah berawal saat Sultan Selim I memerintah pada abad ke-16. Dia fokus pada perluasan wilayah ke selatan Turki dan berhasil menguasai Baghdad, Kairo, dan sisa-sisa kekuasaan Byzantium. Hingga abad ke-17, Kesultanan Utsmani menjadi kerajaan Islam penting di Timur Tengah dan semenanjung Balkan.
Meski agama Islam terbesar dianut penduduknya, sejak Kesultanan Utsmaniyah, warga nonmuslim tetap mendapat pengakuan dan perlindungan. Mereka di antaranya penganut Kristen Yunani, Assyria, Armenia, dan Yahudi.
Kesultanan Utsmaniyah secara resmi berakhir pada 1922, ketika gelar Sultan Utsmaniyah ditiadakan. Itu akibat runtuhnya kewibawaan Sultan pada masa krisis Perang Dunia I dan terjadinya banyak penyimpangan terkait keuangan negara.
Turki dinyatakan sebagai republik pada 29 Oktober 1923 ketika Mustafa Kemal Attaturk, seorang perwira militer mendirikan Republik Turki yang merdeka. “Warga Turkiye sangat mendewakan Mustafa Kemal Attaturk. Banyak lagu nasional yang menyanjung Attaturk sebagai Bapaknya Turki,” kata Farida.
Ekonomi Turki sekarang ini lagi goyang. Jatuhnya lira, inflasi yang melonjak dan kemerosotan bisnis menciptakan banyak pengangguran. Banyak warga Turki yang hidupnya terimpit dan harus berjuang keras untuk keluarga.
“Ya sangat terasa,” kata Farida, yang bekerja di AXOY Endustriyel Mutfak, sebuah perusahaan manufaktur peralatan dapur dan restoran terkenal di kota itu.
Tapi urusan makan, sejauh ini tak ada masalah, katanya. Nasi ada di mana-mana, meski nasi Turki agak berminyak. Namanya Pilav, dimasak dengan aneka rempah. “Jangan berharap ada sambal di sini. Turki tak mengenal sambal dan kecap, yang ada cuma cabe serbuk aja,” tambahnya.
Hampir empat tahun tinggal di Turki membuat Farida hampir hafal semua pelosok negeri ini. Terutama Istanbul yang dulunya bernama Konstantinopel. Kota yang memiliki nuansa Eropa sekaligus Asia. “Aku sudah mengunjungi Turki dari ujung Eropa hingga ujung Asia. Juga Edirne, berbatasan dengan Bulgaria hingga Mardin dan Sanliurfa, di kawasan tenggara Turkiye yang berbatasan dengan Suriah,” jelasnya.
Beberapa minggu ini saya sering dikejar-kejar pedagang ambal atau karpet. Dia tahu saya pengurus masjid. Dia menawari saya ambal dan karpet permadani asli dari Turki. Kualitasnya memang bagus dan halus. Motifnya juga khas. Saya bilang belum ada rencana penambahan dan penggantian ambal masjid. Dia mendesak, saya bilang: “cok uzgunum.” Saya benar-benar minta maaf. Kalau kebab Turki, nah saya “yess.”(*)